Fitrah Seksualitas


Penyaji : Kelompok 5



Alasan:
Karena fitrah sudah dibawa semenjak lahir, keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak. Sedari kecil, yang dilihat anak adalah orang tuanya, pada masa mengimitasi (meniru) anak syarat dengan sosok dan figur yang kerap ditemuinya.

Sejak lahir ke dunia, anak sudah disertai dengan fitrahnya masing-masing. Fitrah ini adalah tanggung jawab para orangtua, dan tentu harus dididik agar tidak menyimpang dan tumbuh menjadi peran-peran istimewa terbaik dan adab/akhlak termulia. Anak butuh peran orangtua untuk membantu mereka memahami fitrah-fitrah yang ada di diri mereka. Salah satu fitrah yang menyertai mereka adalah Fitrah Seksualitas.

Mengapa peran orangtua sebagai role model itu penting?

Idealnya, mendidik fitrah seksualitas, sosok ayah ibu sekaligus, senantiasa harus hadir sejak lahir sampai Aqil Baligh. Dalam proses pendidikan berbasis fitrah, mendidik fitrah seksualitas ini memerlukan kedekatan yang berbeda-beda untuk tiap tahap.

Tahapan Membangkitkan Fitrah Seksual Anak sesuai peran orangtua:
  1. Usia 0-2 tahun: proses menyusui bukan sekedar memberi ASI, tapi ibu benar-benar memperhatikan anak selama proses menyusui.
  2. Usia 3-6 tahun: selain mengetahui identitas seksualnya, dengan dekat pada ayah ibunya diharapkan anak bisa membedakan sosok laki-laki dan perempuan lain di lingkungannya.
  3. Usia 7-10 tahun: anak lelaki didekatkan pada ayah, anak perempuan didekatkan pada ibu. Anak perlu mendapatkan teladan dari sosok sesuai gendernya, agar memahami bagaimana kegiatan keseharian dan peran sosial sesuai seksualitasnya.
  4. Usia 11-14 tahun: anak lelaki lebih didekatkan ke ibunya, dan anak perempuan lebih didekatkan ke ayahnya. Karena masa ini penting dimana fitrah seksualitas mulai serius menuju peran kedewasaan. Agar anak mempunyai gambaran sosok lawan jenis yang akan diteladaninya dan mendapatkan perhatian penuh lawan jenis cukup dari ayah atau ibunya. Maka dari itu lawan jenis pertama yang harusnya mendampingi anak-anak idealnya adalah ayah atau ibu nya sendiri.

Dalam mendampingi anak-anaknya dalam menemukan fitrah seksualitasnya, ayah dan Ibu juga harus memahami fitrah ayah dan fitrah ibu dalam mendidik, karena keduanya memiliki fungsi yang berbeda.

Tantangan yang muncul ketika peran AYAH & IBU tidak bisa dilakukan secara ideal, antara lain:
  1. Peran ayah & ibu terbalik. Misal: ketika ibu lebih memegang peran sebagai penentu visi misi keluarga, atau sebagai the person of tega, dan sebaliknya. Fungsi & peran yang terbalik ini kelihatannya tidak bermasalah, tapi pada jangka panjang bisa menyebabkan kekacauan persepsi anak tentang peran laki-laki & perempuan di masa depan. Anak bisa mengalami disorientasi fungsi & peran seksual yang memicu perilaku menyimpang.
  2. Dominasi dari salah satu Figur Orang tua, sehingga menutupi fitrah peran yang lain. Hal ini bisa meyebabkan kebingungan pada anak sehingga fitrah seksualitasnya tidak bertumbuh dengan sempurna.
  3. Fitrah peran Ayah atau Ibu yang tidak tumbuh secara paripurna. Ayah atau Ibu mempunyai innerchild yang menggangu fitrah perannya sebagai ayah atau ibu yang ideal. Yang menyebabkan mereka tidak bisa menjalankan perannya masing-masing sebagai pembangkit fitrah seksual secara sempurna.
  4. Kesibukan orang tua bekerja. Sering kali, kedua orang tua sibuk bekerja, sehingga anak diharuskan di rumah diasuh oleh orang lain. Akan bermasalah untuk anak jika orang tua tidak punya cukup waktu mendampingi anak-anak mereka dalam tahapan mereka memahami fitrah seksualitasnya.
  5. Kekosongan salah satu figur orang tua dikarenakan : Single parent, LDM.Ketika ibu atau ayah harus mengasuh anak sendiri, tanpa pasangannya dikarenakan sudah bercerai, pasangan meninggal, LDM. Akan bermasalah untuk anak karena kehidupan mereka tidak akan ideal tanpa didampingi salah satu orang tua nya, atau ketika hidup harus berjauhan dengan salah satu orang tua nya, sehingga anak bisa mengalami kekosongan salah satu figur orang tua.


Alternatif solusi:
  1. Mengembalikan & meluruskan kembali fungsi & peran yang terbalik dengan mengusahakan dan mengihtiarkan peran masing-masing.
  2. Bagi yang mendominasi, sebagai permulaan harus memahami posisi diri, untuk selanjutnya membatasi peran. Bagi yang terdominasi, mulai menyadari kekurangan posisi diri, untuk selanjutnya mengambil peran yang belum terexplore olehnya. Lalu bagi lagi peran secara proporsional sesuai fitrah peran nya masing-masing dalam mendampingi anak.
  3. Seiring sejalan dengan mendampingi anak membangkitkan fitrahnya, orang tua perlu memahami innerchild diri sendiri atau pasangannya, sehingga bisa secara perlahan menyelesaikan permasalahannya, dan akhirnya menuntaskan proses perkembangan fitrah seksualitasnya sendiri hingga sempurna atau paling tidak menjadi lebih baik.
  4. Bagi orang tua yang punya keterbatasan waktu dikarenakan tuntutan pekerjaan, wajib untuk mengusahakan quality time saat membersamai anak dengan peran dan figur sesuai gender. Mengoptimalkan waktu yang dimiliki sehingga anak mendapatkan haknya untuk didampingi dalam bertumbuh kembang. Bagi orang tua yang masih bisa menyesuaikan ritme pekerjaan, wajib melakukan management waktu yang baik antara pekerjaan & keluarga.
  5. Ketika Single Parent karena salah satu figur orangtua meninggal dunia, bisa diatasi dengan menghadirkan sosok lain sesuai figur gender yang dibutuhkan. Misal saat ia tak punya ayah, maka cari laki-laki lain yang bisa menjadi sosok ayah pengganti. Bisa kakek, atau paman.
  6. Single Parent karena perpisahan rumah tangga. Secara fisik ayah dan ibu masih bisa mendampingi si anak selama proses pembangkitan fitrah seksualnya. Hanya memang tidak bisa dilakukan secara bersama-sama di satu atap. Ayah & Ibu walau sudah berpisah, harus tetap berkoordinasi bagaimana si anak dapat tetap mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu kebersamaan dengan kedua orangtua nya.
  7. Pada LDM, sangat bisa diatasi dengan komunikasi intense memakai tehnologi telekomunikasi dengan orangtua yang berjauhan. Komunikasi di jaman sekarang, tidak terbatas pada jarak.